Selasa, 16 Juli 2013

Posted by jinson on 05.23
Amit Virmani bicara tentang surga para gigolo, dan saya teringat Rabiah Adawiyah.
Suatu ketika, sufi perempuan yang hidup di Basrah, Irak, ini berlalu-lalang di pasar sembari menenteng seikat kayu bakar dan seember air.
“Wahai Rabiah, apa yang hendak kamu lakukan dengan kayu dan air itu?” tanya seseorang.
Sambil meninggikan intonasi suaranya, Rabiah menjawab, ”Akan kugunakan kayu ini untuk membakar surga dan akupakai air ini untuk mengguyur neraka, agar orang-orang beribadah tidak mengharapkan surga dan menghindari neraka, tetapa semata-mata karena Allah.”
Rabiah menggetarkan dunia melalui kalimatnya itu 13 abad silam. Hari-hari ini, di belahan bumi lain yang tak pernah dipijaknya, muncul debat konyol: apakah Bali itu Firdaus atau Jahanam?
Meski Steven & Coconut pernah mempopulerkan lagu “Welcome to My Paradise” dengan latar belakang Bali, harus diakui, gugatan mengenai ke-Firdaus-an Bali baru mengemuka belakangan ketika muncul film “Cowboys in Paradise”.
Sutradara film tersebut, Amit Virmani, menggugat imej positif Bali sebagai tempat wisata eksotik. Melalui film yang dibuat dua tahun lalu itu, pria Singapura ini justru menghadirkan sisi erotik. Bali digambarkannya sebagai surga para gigolo.
“Apa bedanya gigolo dengan pelacur laki-laki?” temanku penasaran.
Saya tak tahu persis. Tetapi yang jelas, di mata Amit Virmani, tak sedikit pemandu wisata di Bali merangkap menjadi gigolo sehingga perlu disinisi. Rupanya dia merasa perlu menjungkirbalikkan anggapan turis internasional bahwa Bali adalah Land of Paradise.
Sesungguhnya, bila kita mau membuka halaman-halaman kitab suci kita, Firdaus atau Paradise bukanlah tempat sembarangan. Ia adalah suatu tempat teduh di mana pohon-pohon tumbuh hijau nan rindang, dengan air yang melimpah, bahkan kolam susu tersedia di situ.
Kitab suci mengisahkan Adam terusir dari tempat maha elok itu gara-gara terpukau oleh keelokan yang lain. Kemolekan tubuh Eva, sebagaimana digambarkan dengan mempesona oleh Ayu Utami dalam novel “Saman”, membangkitkan birahi Adam. Mereka kepergok, tertangkap basah, lalu ditendang hingga terpelanting ke dunia yang fana ini.
Pada narasi yang diceritakan turun-temurun itu, Eva tak kalah hina dari Evil. Kaum perempuan dianggap iblis durjana yang mencelakakan kaum lelaki. Meminjam bahasa almarhum Benyamin Sueb, “perempuan adalah biang kerok”.
Tapi Amit Virmani punya narasi sebaliknya. Di Firdaus bernama Bali, iblis itu menyosok dalam diri lelaki. Mereka adalah para gigolo yang menawarkan persetubuhan untuk memuaskan birahi para perempuan pelancong—baik dengan imbalan dollar maupun tidak.
Andai Rabiah Adawiyah masih hidup, dan dia tinggal di Pulau Dewata, mungkin dia akan menyempatkan diri berlalu lalang di Pantai Kuta. Tangan kanannya menjinjing buku “Saman” dan tangan kirinya menggamit DVD “Cowboys in Paradise”. Kepada orang-orang yang berpapasan dengannya, Rabiah mungkin akan menyeru, “Pilih Surga Jahanam atau Neraka Firdaus?”
Dan orang-orang melongo, sebagaimana saya bengong setelah menulis artikel ini, dan Anda menggaruk-garuk jidat karena ada sesuatu yang seakan merayap di kening Anda….