Senin, 07 November 2011

Tidak terdapat larangan untuk menyembelih hewan yang hamil. Apabila induknya disembelih, maka hukum tersebut juga berlaku bagi janin yang terdapat di dalam perut. Tetapi apabila janin tersebut masih bergerak saat dikeluarkan dari perut induknya, maka harus disembelih lagi.
Satu kambing mencukupi bagi satu keluarga, dan boleh mengikutkan orang yang dekat dalam pahala sembelihannya. Keluarga yang dimaksudkan adalah orang yang menjadi tanggungannya, walaupun terpisah menjadi beberapa rumah seperti orang yang memiliki dua istri. Begitu juga apabila dalam satu rumah terdapat beberapa keluarga tetapi sudah mengurusi kegiatan rumah tangganya sendiri, maka sebaiknya masing-masing mereka berkurban sendiri.

Apa yang disembelih dari hewan kurban tidak boleh dijual baik dari daging, kulit, dll. Tidak diperbolehkan membayar orang yang mengurusi penyembelihan hewan kurban tersebut dengan bagian dari hewan kurban, tapi seharusnya menggunakan uang dari anggaran yang lain.
Disunnahkan Menyembelih Langsung Tanpa Diwakilkan
Dari Anas bin Malik, Rasulullah berkurban dengan dua kambing amlah yang bertanduk, beliau menyembelih kedua hewan tersebut dengan tangannya sendiri. Dan Rasulullah membaca basmallah dan bertakbir, dan meletakkan kaki beliau di badannya (dekat leher).
(amlah, kambing yang bulunya berwarna hitam dan putih dengan warna putih yang lebih mendominasi, kambing ini sangat indah dan mahal harganya).
Sebaiknya seseorang menyembelih hewan kurban dengan tanggannya sendiri apabila dia mengetahui tata cara yang benar dalam menyembelih. Apabila seseorang tidak mengetahui tata cara penyembelihan maka boleh diwakilkan kepada orang lain.
Wajib untuk membaca basmallah (atau menyebut nama Allah yang lain) ketika menyembelih, dan diperbolehkan untuk menambahi dengan takbir. Syarat menyembelih ada delapan, harus terpenuhi delapan syarat ini agar sembelihannya sah dan halal:
Yang menyembelih adalah orang yang berakal, tidak gila dan mumayiz (sudah bisa memahami pertanyaan dan menjawab dengan baik).
Muslim, atau diperbolehkan yang menyembelih adalah Yahudi atau Nashrani dengan syarat mereka menyembelih dengan tata cara yang diajarkan dalam agama mereka. Apabila mereka menyembelih dengan selain cara yang diajarkan dalam agama mereka, misalkan menggunakan listrik, dihancurkan kepalanya, dll maka sembelihannya haram.
Menyembelih dengan maksud menghalalkan hewan tersebut. Apabila seseorang menyembelih hewan misalkan karena marah maka haram hukumnya.
Diperuntukkan bagi Allah, apabila disembelih untuk selain Allah maka haram hukumnya.
Menyebut nama Allah, sebagian ulama memperbolehkan membaca dengan nama Allah yang lain misalkan, bismi Rabbil Ka’bah. Apabila lupa membaca basmallah maka sembelihannya tetap halal untuk dimakan.
Menggunakan benda tajam selain gigi dan kuku untuk menyembelih.
Mengalirkan darah dari hewan yang disembelih. Hal ini bisa tercapai dengan memotong empat saluran dalam tubuh:
1. Saluran nafas
2. Saluran makan dan minum
3. Dua urat tebal yang berada di sekitar nomer 1 dan 2.
4. Bukan dari golongan orang yang tidak di-izinkan secara syar’i untuk menyembelih, yaitu:
a. Berkaitan dengan hak Allah, misalkan menyembelih di tanah haram.
b. Berkaitan dengan hak makhluk, misalkan menyembelih hewan curian.
Dari Anas bin Malik, dalam riwayat terdapat tambahan bahwa Rasulullah membaca basmallah dengan “bismillaahi wallaahu akbar”. Demikian yang ditetapkan dalam hadits Rasulullah membaca lafadh “bismillaahi”.
Dari Aisyah, Rasulullah memerintahkan agar dibawakan kambing yang bertanduk, kambing tersebut menginjak dengan bulu hitam, duduk dengan bulu hitam, dan memandang dengan bulu hitam. Rasulullah bersabda “bawakan pisau, tajamkan pisau ini dengan batu”, kemudian kambing tersebut dibaringkan oleh Nabi, dan beliau menyembelihnya, dan Rasulullah membaca “bismillah, ya Allah terimalah dari Muhammad, dari keluarga Muhammad, dan dari umatnya Muhammad”.
Hadits ini menjelaskan ciri-ciri kambing amlah, yaitu bulu hitam di kaki, sekitar perut, dan mata.
Adab menyembelih:
1.Tidak menajamkan pisau di depan hewan.
2.Tidak menyembelih di depan hewan yang lain.
3.Tidak menyembelih sampai putus kepalanya. Makruh apabila menyembelih sampai putus kepalanya. Apabila setelah kepalanya putus hewan tersebut masih bergerak, maka halal dagingnya. Tetapi apabila setelah kepalanya putus hewan tersebut tidak bergerak, maka haram dagingnya karena hewan tersebut mati karena kepalanya yang putus bukan karena putus 4 saluran.
Boleh menyembelih dengan semua benda tajam kecuali gigi, kuku, dan seluruh makanan.
Tambahan “seluruh makanan” disini adalah dari Imam Nawawi, sedangkan dalam hadits hanya dibatasi gigi dan kuku.
Dari Rafi`, ya Rasulullah sesungguhnya besuk kami menjumpai musuh dan kami tidak memiliki pisau-pisau, jawab Nabi, “bersegera, apa yang menyebabkan darah mengalir dan disebut nama Allah terhadapnya maka makanlah kecuali dari gigi dan kuku, adapun gigi adalah tulang sedangkan kuku adalah senjata orang Habasyah”, maka kamipun setelah itu mendapatkan harta rampasan berupa unta dan kambing, maka pada saat disembelih ada seekor unta yang lari, maka ada seorang lelaki yang membidiknya dengan anak panah dan menyebabkan unta ini berhenti, maka Rasulullah bersabda “sesungguhnya diantara unta-unta ini kadang menjadi liar seperti binatang buas, apabila terjadi kepada kalian hal yang seperti ini maka lakukanlah seperti yang telah dilakukan tadi (memanahnya)”.
Pelajaran:
Tidak boleh menyembelih dengan kuku atau gigi.
Apabila hewan yang mau disembelih sulit ditangkap, maka boleh mengalirkan darahnya dari mana saja.
19.41 Smartvone
Tidak terdapat larangan untuk menyembelih hewan yang hamil. Apabila induknya disembelih, maka hukum tersebut juga berlaku bagi janin yang terdapat di dalam perut. Tetapi apabila janin tersebut masih bergerak saat dikeluarkan dari perut induknya, maka harus disembelih lagi.
Satu kambing mencukupi bagi satu keluarga, dan boleh mengikutkan orang yang dekat dalam pahala sembelihannya. Keluarga yang dimaksudkan adalah orang yang menjadi tanggungannya, walaupun terpisah menjadi beberapa rumah seperti orang yang memiliki dua istri. Begitu juga apabila dalam satu rumah terdapat beberapa keluarga tetapi sudah mengurusi kegiatan rumah tangganya sendiri, maka sebaiknya masing-masing mereka berkurban sendiri.

Apa yang disembelih dari hewan kurban tidak boleh dijual baik dari daging, kulit, dll. Tidak diperbolehkan membayar orang yang mengurusi penyembelihan hewan kurban tersebut dengan bagian dari hewan kurban, tapi seharusnya menggunakan uang dari anggaran yang lain.
Disunnahkan Menyembelih Langsung Tanpa Diwakilkan
Dari Anas bin Malik, Rasulullah berkurban dengan dua kambing amlah yang bertanduk, beliau menyembelih kedua hewan tersebut dengan tangannya sendiri. Dan Rasulullah membaca basmallah dan bertakbir, dan meletakkan kaki beliau di badannya (dekat leher).
(amlah, kambing yang bulunya berwarna hitam dan putih dengan warna putih yang lebih mendominasi, kambing ini sangat indah dan mahal harganya).
Sebaiknya seseorang menyembelih hewan kurban dengan tanggannya sendiri apabila dia mengetahui tata cara yang benar dalam menyembelih. Apabila seseorang tidak mengetahui tata cara penyembelihan maka boleh diwakilkan kepada orang lain.
Wajib untuk membaca basmallah (atau menyebut nama Allah yang lain) ketika menyembelih, dan diperbolehkan untuk menambahi dengan takbir. Syarat menyembelih ada delapan, harus terpenuhi delapan syarat ini agar sembelihannya sah dan halal:
Yang menyembelih adalah orang yang berakal, tidak gila dan mumayiz (sudah bisa memahami pertanyaan dan menjawab dengan baik).
Muslim, atau diperbolehkan yang menyembelih adalah Yahudi atau Nashrani dengan syarat mereka menyembelih dengan tata cara yang diajarkan dalam agama mereka. Apabila mereka menyembelih dengan selain cara yang diajarkan dalam agama mereka, misalkan menggunakan listrik, dihancurkan kepalanya, dll maka sembelihannya haram.
Menyembelih dengan maksud menghalalkan hewan tersebut. Apabila seseorang menyembelih hewan misalkan karena marah maka haram hukumnya.
Diperuntukkan bagi Allah, apabila disembelih untuk selain Allah maka haram hukumnya.
Menyebut nama Allah, sebagian ulama memperbolehkan membaca dengan nama Allah yang lain misalkan, bismi Rabbil Ka’bah. Apabila lupa membaca basmallah maka sembelihannya tetap halal untuk dimakan.
Menggunakan benda tajam selain gigi dan kuku untuk menyembelih.
Mengalirkan darah dari hewan yang disembelih. Hal ini bisa tercapai dengan memotong empat saluran dalam tubuh:
1. Saluran nafas
2. Saluran makan dan minum
3. Dua urat tebal yang berada di sekitar nomer 1 dan 2.
4. Bukan dari golongan orang yang tidak di-izinkan secara syar’i untuk menyembelih, yaitu:
a. Berkaitan dengan hak Allah, misalkan menyembelih di tanah haram.
b. Berkaitan dengan hak makhluk, misalkan menyembelih hewan curian.
Dari Anas bin Malik, dalam riwayat terdapat tambahan bahwa Rasulullah membaca basmallah dengan “bismillaahi wallaahu akbar”. Demikian yang ditetapkan dalam hadits Rasulullah membaca lafadh “bismillaahi”.
Dari Aisyah, Rasulullah memerintahkan agar dibawakan kambing yang bertanduk, kambing tersebut menginjak dengan bulu hitam, duduk dengan bulu hitam, dan memandang dengan bulu hitam. Rasulullah bersabda “bawakan pisau, tajamkan pisau ini dengan batu”, kemudian kambing tersebut dibaringkan oleh Nabi, dan beliau menyembelihnya, dan Rasulullah membaca “bismillah, ya Allah terimalah dari Muhammad, dari keluarga Muhammad, dan dari umatnya Muhammad”.
Hadits ini menjelaskan ciri-ciri kambing amlah, yaitu bulu hitam di kaki, sekitar perut, dan mata.
Adab menyembelih:
1.Tidak menajamkan pisau di depan hewan.
2.Tidak menyembelih di depan hewan yang lain.
3.Tidak menyembelih sampai putus kepalanya. Makruh apabila menyembelih sampai putus kepalanya. Apabila setelah kepalanya putus hewan tersebut masih bergerak, maka halal dagingnya. Tetapi apabila setelah kepalanya putus hewan tersebut tidak bergerak, maka haram dagingnya karena hewan tersebut mati karena kepalanya yang putus bukan karena putus 4 saluran.
Boleh menyembelih dengan semua benda tajam kecuali gigi, kuku, dan seluruh makanan.
Tambahan “seluruh makanan” disini adalah dari Imam Nawawi, sedangkan dalam hadits hanya dibatasi gigi dan kuku.
Dari Rafi`, ya Rasulullah sesungguhnya besuk kami menjumpai musuh dan kami tidak memiliki pisau-pisau, jawab Nabi, “bersegera, apa yang menyebabkan darah mengalir dan disebut nama Allah terhadapnya maka makanlah kecuali dari gigi dan kuku, adapun gigi adalah tulang sedangkan kuku adalah senjata orang Habasyah”, maka kamipun setelah itu mendapatkan harta rampasan berupa unta dan kambing, maka pada saat disembelih ada seekor unta yang lari, maka ada seorang lelaki yang membidiknya dengan anak panah dan menyebabkan unta ini berhenti, maka Rasulullah bersabda “sesungguhnya diantara unta-unta ini kadang menjadi liar seperti binatang buas, apabila terjadi kepada kalian hal yang seperti ini maka lakukanlah seperti yang telah dilakukan tadi (memanahnya)”.
Pelajaran:
Tidak boleh menyembelih dengan kuku atau gigi.
Apabila hewan yang mau disembelih sulit ditangkap, maka boleh mengalirkan darahnya dari mana saja.

SYARAT WAJIB HAJI

Syarat wajib haji adalah sifat-sifat yang harus dipenuhi oleh seseorang sehingga dia diwajibkan untuk melaksanakan haji, dan barang siapa yang tidak memenuhi salah satu dari syarat-syarat tersebut, maka dia belum wajib menunaikan haji. Syarat-syarat tersebut ada lima perkara:
  1. Islam
  2. Berakal
  3. Baligh
  4. Merdeka
  5. Mampu
Ibnu Qudamah (dalam Al-Mughni 3/218 adn Nihayah Al-Muhtaj 2/375) berkata: “Kami tidak melihat adanya perbedaan pendapat mengenai lima perkara tersebut“.
Islam” dan “Berakal” adalah dua syarat sahnya Haji, karena haji tidak sah jika dilakukan oleh orang kafir atau orang gila.
Baligh” dan “Merdeka” merupakan syarat yang dapat mencukupi pelaksanaan kewajiban tersebut, tetapi keduanya tidak termasuk syarat sahnya haji. Karena apabila anak kecil dan seorang budak melaksanakan haji, maka haji keduanya tetap sah sesuai dengan hadits dari seorang wanita yang -pada saat melaksanakan haji bersama Rasulullah shallallahu alayhi wasalam- mengangkat anak kecilnya kehadapan Nabi dan berkata: “Apakah ia mendapatkan (pahala) haji ?” beliau shallallahu alayhi wasalam menjawab: “Ya, dan kamu pun mendapatkan pahala“(Shahih HR Muslim 1336, Abu Dawud 1736, dan an-Nasa’i 5/120).
Akan tetapi haji yang dilakukan oleh anak kecil dan budak tidak menggugurkan kewajiban hajinya sebagai seorang Muslim, menurut pendapat yang lebih kuat, berdasarkan hadits:
Barang siapa (seorang budak) melaksanakan haji, kemudian ia dimerdekakan, maka ia berkewajiban untuk melaksanakan haji lagi, barang siapa yang melaksanakan haji pada usia anak-anak, kemudian mencapai usia baligh, maka ia wajib melaksanakan haji lagi“(Dishahihkan oleh Al-Albani HR Ibnu Khuzaimah 3050, Al-Hakim 1/481, Al-Baihaqi 5/179 dan lihat Al-Irwa’ 4/59).
Adapun “Mampu” hanya merupakan syarat wajib haji. Apabila seorang yang “tidak mampu” berusaha keras dan menghadapi berbagai kesulitan hingga dapat menunaikan haji, maka hajinya dianggap sah dan mencukupi. Hal ini seperti shalat dan puasa yang dilakukan oleh orang yang kewajiban tersebut telah gugur darinya. Maka shalat dan puasanya tetap sah dan mencukupi. (Al-Mughni 3/214).

APAKAH YANG DIMAKSUD “MAMPU

Kemampuan” yang menjadi syarat wajib haji hanya akan terwujud dengan hal-hal berikut:
1. Kondisi badan yang sehat dan bebas dari berbagai penyakit yang dapat menghalanginya dalam melaksanakan berbagai macam ritual dalam haji. Sesuai hadits Ibnu Abbas, bahwa seorang wanita dari Khats’am berkata: “Wahai Rasulullah, bapak ku memiliki kewajiban haji pada saat dia sudah sangat tua dan tidak dapt menanggung beban perjalanan haji, apakah aku bisa menghajikannya ?” beliau shallallahu alayhi wasalam menjawab: “Tunaikanlah haji untuknya (menggantikannya)“(Shahih HR Bukhari 1855 dan Muslim 1334).
Barangsiapa telah memenuhi seluruh syarat haji, tetapi dia menderita penyakit kronis atau lumpuh, maka dia tidak wajib melaksanakan haji, sesuai kesepakatan ulama.
hanya saja ada perbedaan pendapat mengenai perwakilannya kepada orang lain, apakah wajib atau tidak ?.
Madzhab Syafi’i, Hanbali dan dua orang pengikut madzhab Hanafi berpendapat wajib, atas dasar bahwa kesehatan badan merupakan syarat untuk menunaikan haji dan bukan syarat wajib haji. Dan inilah pendapat yang terkuat berdasarkan hadits Ibnu Abbas, bahwa Nabi shallallahu alayhi wasalam bersabda: “Bagaimana jika ayahmu memiliki tanggungan utang, apakah kamu akan melunasinya ?” Wanita itu menjawab “Ya” beliau shallallahu alayhi wasalam lalu bersabda “Maka utang kepada Allah lebih berhak untuk dilunasi” (HR Bukhari 5699, An-Nasa’i 5/116).
Adapun Imam Abu Hanifah danImam Malik berpendapat tidak wajib mewakilkannya kepada orang lain. (Nihayah Al-Muhtaj 2/385, Al-Kafi 1/214 dan fath al-Qadir 2/125).
2. Memiliki perbekalan yang cukup dalam perjalana, masa mukim (menginap) dan saat kembali kepada keluarganya, diluar kebutuhan-kebutuhan pokok, seperti tanggungan utang dan nafkah untuk keluarga dan orang-orang yang berada dalam tanggungannya. Ini menurut pendapat Jumhur Ulama (Al-Majmu’ 7/56) -selain madzhab Maliki-, karena nafkah merupakan hak manusia dan harus diutamakan, sesuai sabda Rasulullah shallallahu alayhi wasalam:
Cukuplah seseorang (dianggap) berdosa dengan menelantarkan orang yang berada dalam tanggungannya“(Shahih HR Abu Dawud 1676 dan Al-Irwa’ 989).
3. Amannya perjalanan. Ini meliputi aman bagi jiwa dan harta pada saat orang-orang ramai keluar menunaikan haji, karena kategori “mampu” tidak dapat terlepas dari kondisi ini.

KEBERADAAN SEORANG MUHRIM MERUPAKAN SYARAT WAJIB HAJI BAGI PEREMPUAN.

Wanita diwajibkan menunaikan haji apabila telah memenuhi lima syarat yang telah dijelaskan kemudian disyaratkan pula agar ditemani oleh suami atau muhrim. Apabila tidak ada muhrim maka dia belum diwajibkan haji.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radiallahuanhu, dia berkata, Aku mendengar Rasulullah shallallahu alayhi wasalam bersabda: “Hendaknya seorang laki-laki tidak berdua-duaan dengan seorang perempuan, kecuali bersama muhrimnya, dan hendaknya seorang wanita tidak berpergian kecuali bersama muhrimnya.” Kemudian seorang laki-laki berkata “Wahai Rasulullah, istriku hendak pergi haji untuk melaksanakan haji dan aku mendapat bagian untuk ikut perang ini dan ini” Maka beliau shallallahu alayhi wasalam bersabda “Pergilah, laksanakan haji bersama istrimu“(Al-Mughni 3/230, Bidayah Al-Mujtahid 1/348 dan Al-Majmu’ 7/68). Ini adalah pendpat madzhab Hanafi dan Hanbali.
Adapun madzhab Maliki dan Syafi’i menilai bahwa keberadaan muhrim bukanlah syarat dalam haji, tetapi mereka mensyaratkan amannya perjalanan dan adanya teman yang amanah. Ketentuan ini berlaku dalam haji yang wajib. Adapun haji sunnah maka perempuan tidak boleh melaksanakannya kecuali bersama muhrimnya, sesuai kesepakatan para ulama.
Sementara madzhab Azh-Zhahiri berpendapat bahwa wanita yang tidak memiliki suami atau muhrim atau suaminya enggan menemani maka dia boleh menunaikan haji tanpa muhrim.
Mereka berdalil dengan riwayat yang menjelaskan penafsiran Nabi shallallahu alayhi wasalam bahwa yang dimasud dengan “mampu” adalah adanya perbekalan dan kendaraan, dan riwayat ini dha’if, sebagaimana yang telah disebutkan.
Juga dengan sabda beliau:”Hampir saja akan keluar sekelompok perempuan dari Hirah menuju Ka’bah tanpa ada yang menemaninya (tanpa muhrim), mereak tidak merasa takut melainkan hanya kepada Allah” (HR Bukhari 3595, kata Azha’inah berarti perempuan)
Hal ini dijawab bahwa riwayat tersebut merupakan pemberitahuan tentang keamanan yang akan terjadi, dan tidak berkaitan dengan hukum berpergian bagi perempuan tanpa muhrim.

BAGAIMANA HUKUM PEREMPUAN YANG MELAKSANAKAN HAJI TANPA MUHRIM ?

Apabila seorang perempuan melaksanakan haji tanpa muhrim, maka hajinya tetap sah dan dia berdosa lantaran berpergian tanpa muhrim.

SEORANG PEREMPUAN BOLEH MEMINTA IZIN SUAMINYA UNTUK MENUNAIKAN HAJI, DAN SUAMI TIDAK BERHAK MELARANGNYA. (Al Mughni 3/240, Al Umm2/117)

1. Apabila seorang wanita telah memenuhi syarat-syarat wajib haji sebagaimana yang telah dijelaskan diatas -dalam pelaksanaan haji yang wajib- maka dianjurkan untuk meminta izin kepada suaminya untuk melaksanakannya. Apabila suami tidak meng-izinkan, maka dia boleh tetap pergi haji tanpa seizin suaminya, karean suami tidak berhak melarangnya untuk menunaikan kewajiban hajinya -menurut mayoritas ulama- karena hak suami tidak lebih diutamakan daripad kewajiban individual (fardhu ain) seperti puasa Ramadhan dan lainnya.
2. Apabila ibadah haji yang dijalankannya adalah haji nadzar, dan nadzarnya tersebut seizin suaminya atau dia bernadzar sebelum menikah kemudian memberitahu suami dan suami menyepakatinya, maka suami tidak berhak melarangnya. Adapun jika nadzarnya tidak disetujui oleh suami, maka suami boleh mencegahnya. Tetapi ada pendapat yang mengatakan bahwa suami tidak berhak melarangnya karena haji yang akan dilaksanakannya adalah haji wajib, seperti halnya haji wajib sebagai seorang muslim dan menjadi salah satu rukun Islam.
3. Apabila yang dia lakukan adalah haji sunnah atau menggantikan haji orang lain, maka harus seizin suaminya, dan suami memiliki hak untuk melarangnya, sesuai kesepakatan para ulama.

Apakah Wanita Yang Sedang Menjalani Masa Iddah Boleh Melaksanakan Haji ?

Wawnita yang sedang menjalani masa iddah sesudah cerai atau setelah ditinggal mati oleh suaminya pada bulan-bulan haji, tidak wajib melaksanakan haji, menurut pendapat mayoritas pendapat ulama, karena Allah melarang wanita yang sedangmenjalani masa iddah untuk keluar, berdasarkan firma-Nya
Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar…” (QS Ath-Thalaq:1).
Selain itu haji juga dapat dilaksanakan pada lain waktu. Adapun iddah adalah keharusan yang telah ditentukan waktunya. Dengan demikian menggabungkan dua perkara tersebut adalah lebih utama.


Rukun Haji adalah kegiatan yang harus dilakukan dalam Ibadah Haji. Jika tidak dikerjakan maka Hajinya tidak syah. Berikut ini adalah rukun ibadah haji :
1)      Ihram Pernyataan mulai mengerjakan ibadah haji atau umroh dengan memakai pakaian ihram disertai niat haji atau umroh di miqat (tempat memulai niat)
2)      Wukuf di Arafah Berdiam diri dan berdoa di Arafah pada tanggal 9 Zulhijah
3)      Tawaf Ifadah Mengelilingi Ka'bah sebanyak 7 kali, dilakukan setelah melontar jumroh Aqabah pada tgl 10 Zulhijah
4)      Sa'i Berjalan atau berlari-lari kecil antara bukit Shafa dan Marwah sebanyak 7 kali, dilakukan setelah Tawaf Ifadah
5)      Tahallul Bercukur atau menggunting rambut setelah melaksanakan Sa'i
6)      Tertib Mengerjakan kegiatan sesuai dengan urutan dan tidak ada yang tertinggal
19.24 Smartvone

SYARAT WAJIB HAJI

Syarat wajib haji adalah sifat-sifat yang harus dipenuhi oleh seseorang sehingga dia diwajibkan untuk melaksanakan haji, dan barang siapa yang tidak memenuhi salah satu dari syarat-syarat tersebut, maka dia belum wajib menunaikan haji. Syarat-syarat tersebut ada lima perkara:
  1. Islam
  2. Berakal
  3. Baligh
  4. Merdeka
  5. Mampu
Ibnu Qudamah (dalam Al-Mughni 3/218 adn Nihayah Al-Muhtaj 2/375) berkata: “Kami tidak melihat adanya perbedaan pendapat mengenai lima perkara tersebut“.
Islam” dan “Berakal” adalah dua syarat sahnya Haji, karena haji tidak sah jika dilakukan oleh orang kafir atau orang gila.
Baligh” dan “Merdeka” merupakan syarat yang dapat mencukupi pelaksanaan kewajiban tersebut, tetapi keduanya tidak termasuk syarat sahnya haji. Karena apabila anak kecil dan seorang budak melaksanakan haji, maka haji keduanya tetap sah sesuai dengan hadits dari seorang wanita yang -pada saat melaksanakan haji bersama Rasulullah shallallahu alayhi wasalam- mengangkat anak kecilnya kehadapan Nabi dan berkata: “Apakah ia mendapatkan (pahala) haji ?” beliau shallallahu alayhi wasalam menjawab: “Ya, dan kamu pun mendapatkan pahala“(Shahih HR Muslim 1336, Abu Dawud 1736, dan an-Nasa’i 5/120).
Akan tetapi haji yang dilakukan oleh anak kecil dan budak tidak menggugurkan kewajiban hajinya sebagai seorang Muslim, menurut pendapat yang lebih kuat, berdasarkan hadits:
Barang siapa (seorang budak) melaksanakan haji, kemudian ia dimerdekakan, maka ia berkewajiban untuk melaksanakan haji lagi, barang siapa yang melaksanakan haji pada usia anak-anak, kemudian mencapai usia baligh, maka ia wajib melaksanakan haji lagi“(Dishahihkan oleh Al-Albani HR Ibnu Khuzaimah 3050, Al-Hakim 1/481, Al-Baihaqi 5/179 dan lihat Al-Irwa’ 4/59).
Adapun “Mampu” hanya merupakan syarat wajib haji. Apabila seorang yang “tidak mampu” berusaha keras dan menghadapi berbagai kesulitan hingga dapat menunaikan haji, maka hajinya dianggap sah dan mencukupi. Hal ini seperti shalat dan puasa yang dilakukan oleh orang yang kewajiban tersebut telah gugur darinya. Maka shalat dan puasanya tetap sah dan mencukupi. (Al-Mughni 3/214).

APAKAH YANG DIMAKSUD “MAMPU

Kemampuan” yang menjadi syarat wajib haji hanya akan terwujud dengan hal-hal berikut:
1. Kondisi badan yang sehat dan bebas dari berbagai penyakit yang dapat menghalanginya dalam melaksanakan berbagai macam ritual dalam haji. Sesuai hadits Ibnu Abbas, bahwa seorang wanita dari Khats’am berkata: “Wahai Rasulullah, bapak ku memiliki kewajiban haji pada saat dia sudah sangat tua dan tidak dapt menanggung beban perjalanan haji, apakah aku bisa menghajikannya ?” beliau shallallahu alayhi wasalam menjawab: “Tunaikanlah haji untuknya (menggantikannya)“(Shahih HR Bukhari 1855 dan Muslim 1334).
Barangsiapa telah memenuhi seluruh syarat haji, tetapi dia menderita penyakit kronis atau lumpuh, maka dia tidak wajib melaksanakan haji, sesuai kesepakatan ulama.
hanya saja ada perbedaan pendapat mengenai perwakilannya kepada orang lain, apakah wajib atau tidak ?.
Madzhab Syafi’i, Hanbali dan dua orang pengikut madzhab Hanafi berpendapat wajib, atas dasar bahwa kesehatan badan merupakan syarat untuk menunaikan haji dan bukan syarat wajib haji. Dan inilah pendapat yang terkuat berdasarkan hadits Ibnu Abbas, bahwa Nabi shallallahu alayhi wasalam bersabda: “Bagaimana jika ayahmu memiliki tanggungan utang, apakah kamu akan melunasinya ?” Wanita itu menjawab “Ya” beliau shallallahu alayhi wasalam lalu bersabda “Maka utang kepada Allah lebih berhak untuk dilunasi” (HR Bukhari 5699, An-Nasa’i 5/116).
Adapun Imam Abu Hanifah danImam Malik berpendapat tidak wajib mewakilkannya kepada orang lain. (Nihayah Al-Muhtaj 2/385, Al-Kafi 1/214 dan fath al-Qadir 2/125).
2. Memiliki perbekalan yang cukup dalam perjalana, masa mukim (menginap) dan saat kembali kepada keluarganya, diluar kebutuhan-kebutuhan pokok, seperti tanggungan utang dan nafkah untuk keluarga dan orang-orang yang berada dalam tanggungannya. Ini menurut pendapat Jumhur Ulama (Al-Majmu’ 7/56) -selain madzhab Maliki-, karena nafkah merupakan hak manusia dan harus diutamakan, sesuai sabda Rasulullah shallallahu alayhi wasalam:
Cukuplah seseorang (dianggap) berdosa dengan menelantarkan orang yang berada dalam tanggungannya“(Shahih HR Abu Dawud 1676 dan Al-Irwa’ 989).
3. Amannya perjalanan. Ini meliputi aman bagi jiwa dan harta pada saat orang-orang ramai keluar menunaikan haji, karena kategori “mampu” tidak dapat terlepas dari kondisi ini.

KEBERADAAN SEORANG MUHRIM MERUPAKAN SYARAT WAJIB HAJI BAGI PEREMPUAN.

Wanita diwajibkan menunaikan haji apabila telah memenuhi lima syarat yang telah dijelaskan kemudian disyaratkan pula agar ditemani oleh suami atau muhrim. Apabila tidak ada muhrim maka dia belum diwajibkan haji.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radiallahuanhu, dia berkata, Aku mendengar Rasulullah shallallahu alayhi wasalam bersabda: “Hendaknya seorang laki-laki tidak berdua-duaan dengan seorang perempuan, kecuali bersama muhrimnya, dan hendaknya seorang wanita tidak berpergian kecuali bersama muhrimnya.” Kemudian seorang laki-laki berkata “Wahai Rasulullah, istriku hendak pergi haji untuk melaksanakan haji dan aku mendapat bagian untuk ikut perang ini dan ini” Maka beliau shallallahu alayhi wasalam bersabda “Pergilah, laksanakan haji bersama istrimu“(Al-Mughni 3/230, Bidayah Al-Mujtahid 1/348 dan Al-Majmu’ 7/68). Ini adalah pendpat madzhab Hanafi dan Hanbali.
Adapun madzhab Maliki dan Syafi’i menilai bahwa keberadaan muhrim bukanlah syarat dalam haji, tetapi mereka mensyaratkan amannya perjalanan dan adanya teman yang amanah. Ketentuan ini berlaku dalam haji yang wajib. Adapun haji sunnah maka perempuan tidak boleh melaksanakannya kecuali bersama muhrimnya, sesuai kesepakatan para ulama.
Sementara madzhab Azh-Zhahiri berpendapat bahwa wanita yang tidak memiliki suami atau muhrim atau suaminya enggan menemani maka dia boleh menunaikan haji tanpa muhrim.
Mereka berdalil dengan riwayat yang menjelaskan penafsiran Nabi shallallahu alayhi wasalam bahwa yang dimasud dengan “mampu” adalah adanya perbekalan dan kendaraan, dan riwayat ini dha’if, sebagaimana yang telah disebutkan.
Juga dengan sabda beliau:”Hampir saja akan keluar sekelompok perempuan dari Hirah menuju Ka’bah tanpa ada yang menemaninya (tanpa muhrim), mereak tidak merasa takut melainkan hanya kepada Allah” (HR Bukhari 3595, kata Azha’inah berarti perempuan)
Hal ini dijawab bahwa riwayat tersebut merupakan pemberitahuan tentang keamanan yang akan terjadi, dan tidak berkaitan dengan hukum berpergian bagi perempuan tanpa muhrim.

BAGAIMANA HUKUM PEREMPUAN YANG MELAKSANAKAN HAJI TANPA MUHRIM ?

Apabila seorang perempuan melaksanakan haji tanpa muhrim, maka hajinya tetap sah dan dia berdosa lantaran berpergian tanpa muhrim.

SEORANG PEREMPUAN BOLEH MEMINTA IZIN SUAMINYA UNTUK MENUNAIKAN HAJI, DAN SUAMI TIDAK BERHAK MELARANGNYA. (Al Mughni 3/240, Al Umm2/117)

1. Apabila seorang wanita telah memenuhi syarat-syarat wajib haji sebagaimana yang telah dijelaskan diatas -dalam pelaksanaan haji yang wajib- maka dianjurkan untuk meminta izin kepada suaminya untuk melaksanakannya. Apabila suami tidak meng-izinkan, maka dia boleh tetap pergi haji tanpa seizin suaminya, karean suami tidak berhak melarangnya untuk menunaikan kewajiban hajinya -menurut mayoritas ulama- karena hak suami tidak lebih diutamakan daripad kewajiban individual (fardhu ain) seperti puasa Ramadhan dan lainnya.
2. Apabila ibadah haji yang dijalankannya adalah haji nadzar, dan nadzarnya tersebut seizin suaminya atau dia bernadzar sebelum menikah kemudian memberitahu suami dan suami menyepakatinya, maka suami tidak berhak melarangnya. Adapun jika nadzarnya tidak disetujui oleh suami, maka suami boleh mencegahnya. Tetapi ada pendapat yang mengatakan bahwa suami tidak berhak melarangnya karena haji yang akan dilaksanakannya adalah haji wajib, seperti halnya haji wajib sebagai seorang muslim dan menjadi salah satu rukun Islam.
3. Apabila yang dia lakukan adalah haji sunnah atau menggantikan haji orang lain, maka harus seizin suaminya, dan suami memiliki hak untuk melarangnya, sesuai kesepakatan para ulama.

Apakah Wanita Yang Sedang Menjalani Masa Iddah Boleh Melaksanakan Haji ?

Wawnita yang sedang menjalani masa iddah sesudah cerai atau setelah ditinggal mati oleh suaminya pada bulan-bulan haji, tidak wajib melaksanakan haji, menurut pendapat mayoritas pendapat ulama, karena Allah melarang wanita yang sedangmenjalani masa iddah untuk keluar, berdasarkan firma-Nya
Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar…” (QS Ath-Thalaq:1).
Selain itu haji juga dapat dilaksanakan pada lain waktu. Adapun iddah adalah keharusan yang telah ditentukan waktunya. Dengan demikian menggabungkan dua perkara tersebut adalah lebih utama.


Rukun Haji adalah kegiatan yang harus dilakukan dalam Ibadah Haji. Jika tidak dikerjakan maka Hajinya tidak syah. Berikut ini adalah rukun ibadah haji :
1)      Ihram Pernyataan mulai mengerjakan ibadah haji atau umroh dengan memakai pakaian ihram disertai niat haji atau umroh di miqat (tempat memulai niat)
2)      Wukuf di Arafah Berdiam diri dan berdoa di Arafah pada tanggal 9 Zulhijah
3)      Tawaf Ifadah Mengelilingi Ka'bah sebanyak 7 kali, dilakukan setelah melontar jumroh Aqabah pada tgl 10 Zulhijah
4)      Sa'i Berjalan atau berlari-lari kecil antara bukit Shafa dan Marwah sebanyak 7 kali, dilakukan setelah Tawaf Ifadah
5)      Tahallul Bercukur atau menggunting rambut setelah melaksanakan Sa'i
6)      Tertib Mengerjakan kegiatan sesuai dengan urutan dan tidak ada yang tertinggal

Selasa, 01 November 2011

Cinta adalah memiliki suatu rasa yang lebih pada sesuatu. Cinta biasa muncul mulai kita beranjak remaja, jika kita cinta terhadap seseorang kita harus mempertimbangkanya terlebih dahulu apakah Dengan Cinta itu kita akan menjadi lebik Baik atau Buruk ? ( diri anda yang tahu )

Cinta terbaik adalah cinta yang berasal dari hati yang ikhlas dan sungguh sungguh siap mengorbankan apapun demi kebaikan cinta menurut syariat yang telah terikat (pernikahan) dengan kata lain Cinta itu tidak bisa dipaksakan, Contoh : Anda Disuruh memegang kotoran kambing ( didalam hati anda tidak mau ) maka bagaimana perasaan anda....? (sangat terpaksa kan?) seperti itu gambaran pemaksaan cinta.
karena cinta berawal dari->pertemuan -> perkenalan -> Suka ->lebih suka ->(saling pengertian) ->lebih dari saling mengerti ->CINTA.

Didalam Cinta kita harus memperjuangkanya jika kita benar benar pasti Contohnya ( lihat rekomendasi dari Farizki Ghinadi ).

Ada pertanyaan Sederhana yaitu :
1. Sejak kapan dia suka ?
2. Apa yang dia suka ?
3. Bagaimana dia bisa suka ?
4. Mengapa dia bisa suka  ?
5. Apa yang telah dia lakukan untuk membuktikan Sukanya ?
6. Apakah manfaat dia Suka pada anda ?
7. Ikhlaskah dia menerima segala resiko ( karena semua tindakan beresiko ) ..?
Sekian Dulu ulasan tentang cinta Jika ada pertanyaan KLIK DISINI via Facebook.


Benci adalah rasa tidak suka pada sesuatau, banyak anggapan benci itu lawan dari cinta. Benarkah ?
Ternyata Menurut saya Lawan dari cinta bukanlah benci, tetapi ketidak Peduli an. karena jika kita tidak peduli, merupakan awal dari semua  permasalahan lebih dari benci.


Dalam kehidupan sehari hari kita tak lepas dengan rasa cinta dan benci karena rasa itu merupakan salah satu penghantar antara bahagia dan sengsara. maka dari itu kita harus mempertimbangkan semuanya menurut hukum Islam dan lainya, sebaiknya kita jangan memiliki rasa benci ( itu syeitan ) apalagi denda. maka dari itu kita sebagai manusia tak sempurna harus saling meminta maaf. dan Sebaik baiknya cinta adalah mampu mendatangkan sebahagiaan dunia Akherat... semoga umat muslim masuk surga.....Aamin...!
17.18 Smartvone
Cinta adalah memiliki suatu rasa yang lebih pada sesuatu. Cinta biasa muncul mulai kita beranjak remaja, jika kita cinta terhadap seseorang kita harus mempertimbangkanya terlebih dahulu apakah Dengan Cinta itu kita akan menjadi lebik Baik atau Buruk ? ( diri anda yang tahu )

Cinta terbaik adalah cinta yang berasal dari hati yang ikhlas dan sungguh sungguh siap mengorbankan apapun demi kebaikan cinta menurut syariat yang telah terikat (pernikahan) dengan kata lain Cinta itu tidak bisa dipaksakan, Contoh : Anda Disuruh memegang kotoran kambing ( didalam hati anda tidak mau ) maka bagaimana perasaan anda....? (sangat terpaksa kan?) seperti itu gambaran pemaksaan cinta.
karena cinta berawal dari->pertemuan -> perkenalan -> Suka ->lebih suka ->(saling pengertian) ->lebih dari saling mengerti ->CINTA.

Didalam Cinta kita harus memperjuangkanya jika kita benar benar pasti Contohnya ( lihat rekomendasi dari Farizki Ghinadi ).

Ada pertanyaan Sederhana yaitu :
1. Sejak kapan dia suka ?
2. Apa yang dia suka ?
3. Bagaimana dia bisa suka ?
4. Mengapa dia bisa suka  ?
5. Apa yang telah dia lakukan untuk membuktikan Sukanya ?
6. Apakah manfaat dia Suka pada anda ?
7. Ikhlaskah dia menerima segala resiko ( karena semua tindakan beresiko ) ..?
Sekian Dulu ulasan tentang cinta Jika ada pertanyaan KLIK DISINI via Facebook.


Benci adalah rasa tidak suka pada sesuatau, banyak anggapan benci itu lawan dari cinta. Benarkah ?
Ternyata Menurut saya Lawan dari cinta bukanlah benci, tetapi ketidak Peduli an. karena jika kita tidak peduli, merupakan awal dari semua  permasalahan lebih dari benci.


Dalam kehidupan sehari hari kita tak lepas dengan rasa cinta dan benci karena rasa itu merupakan salah satu penghantar antara bahagia dan sengsara. maka dari itu kita harus mempertimbangkan semuanya menurut hukum Islam dan lainya, sebaiknya kita jangan memiliki rasa benci ( itu syeitan ) apalagi denda. maka dari itu kita sebagai manusia tak sempurna harus saling meminta maaf. dan Sebaik baiknya cinta adalah mampu mendatangkan sebahagiaan dunia Akherat... semoga umat muslim masuk surga.....Aamin...!