Senin, 15 Juli 2013

Posted by jinson on 19.00
Kafil Yamin
SATU-satunya sumber penghidupan yang terlihat Ni Wayan Mertayani, gadis Bali berusia 9 tahun,  adalah sampah-sampah plastik yang berserakan di sepanjang pantai Kuta, Bali.
Maka, ia mulai memungut sampah-sampah itu – botol bekas minuman mineral, kantong-kantong, kemasan makanan – lalu dijualnya ke penampung sampah plastik.
Inilah cara agar bisa bertahan di sekolah dan merawat ibunya yang sakit cukup parah – radang lambung – setelah ayahandanya meninggal beberapa hari lalu. Dengan demikian, ia bisa berbagi tugas dengan adiknya yang juga perempuan. Sementara ia memulung, adiknya menjaga sang ibu.
Ni Wayan tahu bahwa pekerjaan ini akan mengundang cibiran teman-temannya dan orang-orang sekitar. Apa boleh buat. Ia akan hadapi semua cibiran dan pandangan merendahkan itu.
Kenyatannya, yang terjadi lebih dari yang ia bayangkan. Ni Wayan bukan sekedar sering menghadapi cibiran dan pandangan merendahkan, tapi juga tuduhan dan fitnah. Bila ada barang hilang di kelas, entah pulpen, entah buku, hampir semua orang secara ‘alamiah’ mencurigainya sebagai si pencuri.
Ni Wayan dapat kamera
Dengan kesadaran akan harga diri dan kehormatan, Ni Wayan selalu bisa membuktikan – seringkali dengan cara ‘perang’ – bahwa kecurigaan orang itu tidak benar.
Bagusnya, semua sinisme dan cibiran itu malah jadi energi besar buat Ni Wayan untuk menjadi ‘orang’. Tentu ia tak sudi jadi pemulung selamanya. Ia harus pintar. Ah, ini bukan perkara harus atau semangat hidup yang coba dihidup-hidupkan karena pepatah, kata-kata mutiara atau apa. Ini karena dorongan hati saja, Ni Wayan memang senang mencari tahu; mendapat pengetahuan baru; setiap hari.
Kebetulan, selama memulung, ia sering melewati sebuah rumah istirahat [cottage] milik seorang Belanda, Marie Johana Fardan, di situ ada perpustakaan kecil. Tak segan Ni Wayan menemui pemilik rumah singgah itu dan bertanya apakah ia bisa ikut membaca buku-buku yang ada di sana. Pucuk dicinta ulam tiba, si ‘ahlul bait’ malah senang dengan minat gadis manis kecil itu.
Maka, seusai sekolah dan memulung, Ni Wayan mengunjungi perpustakaan itu secara berkala. Sering kali si pemilik meminjamkan bukunya untuk di bawa pulang. Tentu Ni Wayan senang dan minatnya akan baca-tulis makin bersemi.
Suatu saat ia bertemu dengan seorang wisatawati Belanda yang baik hati, Dolly Amarhoseija. Melihat gadis kecil itu rela berpanas-panas memunguti sampah di pantai, ia merasa simpati dan meminjamkannya sebuah kamera digital.
Kamera digital? Buat apa? Ia tak pernah memotret. Kalau pun ia nanti bisa memotret, buat apa? Apa bisa dijual untuk membeli obat dan makanan buat ibunya?
Si peminjam mengajarkan cara mengoperasikan kamera itu. Gampang memang. Tinggal hidupkan. Arahkan kamera ke sasaran yang hendak dipotret, dan jepret. Hasilnya bisa dilihat seketika itu juga. Eh, ternyata memotret menyenangkan!
Hari-hari selanjutnya adalah hari-hari yang menyenangkan. Di sela-sela memulung, bila melihat pemandangan atau sasaran yang bagus untuk diabadikan, maka: pret! Pret! Pret! Ia memainkan kameranya menangkap objek dari setiap sudut.
Setelah jepret sana-jepret sini. Ia ingin melihat bagaimana persisnya gambar yang dihasilkan. Di Kuta banyak penyewaan komputer untuk sekedar melihat foto-foto itu dalam layar komputer. Setelah dilihat, hasilnya mengasyikkan.
Foto Ni Wayan yang memenangi lomba
Ni Wayan tak pernah belajar fotografi atau jurnalistik foto. Karena itu ia tak tahu kriteria foto yang bagus itu yang bagaimana, tap rasa artisitik alamiah dalam dirinya mengatakan foto itu bagus. Buktinya, ia sangat menyukainya.
Setelah puas, Wayan pun mengembalikan kamera itu dengan hasil jepretannya kepada Dolly, yang terkaget-kaget melihat hasilnya. Dalam penglihatannya, foto-foto Wayan sangat artistik, bernas, menggambarkan ‘sesuatu’.
Karena dianggap bagus, atas seizin Wayan, foto tersebut dikirim Dolly ke panitia lomba foto internasional 2009 yang dihelat Yayasan Anne Frank.
Dolly bilang tema lomba foto tahun ini adalah ‘Apa Keinginan Terbesarmu’. Di dalam foto yang menang itu, Wayan memperlihatkan seekor ayam bertengger di cabang-cabang pohon saat sore hari. Di bawahnya ada jemuran seperti handuk dan baju. Foto inilah yang dikirim Dolly ke panitia lomba.
Ia melihat ayam itu seperti dirinya, yang ‘menclok’ di batang yang rapuh, di bawah terik matahari. Bila hujan turun, sekujur badan ayam akan terguyur.
Tiga bulan kemudian. Ketika sedang asyik memulung, adiknya berlari mendatanginya membawa surat dari panitia lomba. Segera Ni Wayan membuka surat itu. Jelas sudah, foto hasil jepretannya memenangi lomba bergengsi internasional itu! Bukan sekedar masuk finalis, sepuluh besar atau lima besar, tapi juara pertama!
Untuk beberapa saat. Ia hanya terdiam. Demikian pula adiknya. Ya Tuhan, seorang pemulung, warga rendahan, penghuni gubuk di Pantai Amed, Karangasem, Bali, memenangi lomba foto internasional!
Ia diundang ke Belanda untuk menerima hadiah itu.
Pada tanggal 3 Mei 2010, di Amsterdam, Belanda, seorang gadis kecil, dengan kebaya putih dan kamen biru, busana khas Bali, menerima hadiah dari Annemarie Becker. Itulah Wayan Mertayani, gadis asal Banjar Biasiantang, Desa Purwakerti, Kecamatan Abang, Karangasem, Bali . Hadiah yang diterimanya adalah kamera Canon G11, buku-buku tentang Anne Frank, dan fotonya sendiri yang menang lomba itu.
Dua belas juri dari World Press Photo mengatakan, semua unsur dalam foto Wayan bekerja sangat bagus. “The shape of the tree, the one chicken up in the branches, the color and light. They all work in its favor. All of this relays the photographer’s reality through subtle symbolism,” tulis juri di dalam website resmi Yayasan Anne Frank.
Ketika itu, tak ada jalan sulit lagi bagi cita-citanya. Wayan ingin menjadi wartawan.
Bahkan hari ini, ia telah menjadi wartawan dan kisah hidupnya dibukukan dengan judul ‘Potret Terindah dari Bali’.
Seperti biasa, sekarang orang rame-rame mendaulatnya sebagai ‘mengharumkan nama Indonesia’. Negara yang tak pernah peduli akan nasibnya, negara yang tak pernah menyantuni ibunya yang sekian lama terbaring antara hidup dan mati, negara yang membual tentang pendidikan gratis tapi kenyataan sebaliknya
Categories: