Suatu ketika, sufi perempuan yang hidup di Basrah,
Irak, ini berlalu-lalang di pasar sembari menenteng seikat kayu bakar
dan seember air.
“Wahai Rabiah, apa yang hendak kamu lakukan dengan kayu dan air itu?” tanya seseorang.
Sambil meninggikan intonasi suaranya, Rabiah
menjawab, ”Akan kugunakan kayu ini untuk membakar surga dan akupakai air
ini untuk mengguyur neraka, agar orang-orang beribadah tidak
mengharapkan surga dan menghindari neraka, tetapa semata-mata karena
Allah.”
Rabiah menggetarkan dunia melalui kalimatnya itu 13
abad silam. Hari-hari ini, di belahan bumi lain yang tak pernah
dipijaknya, muncul debat konyol: apakah Bali itu Firdaus atau Jahanam?
Meski Steven & Coconut pernah mempopulerkan
lagu “Welcome to My Paradise” dengan latar belakang Bali, harus diakui,
gugatan mengenai ke-Firdaus-an Bali baru mengemuka belakangan ketika
muncul film “Cowboys in Paradise”.
Sutradara film tersebut, Amit Virmani, menggugat
imej positif Bali sebagai tempat wisata eksotik. Melalui film yang
dibuat dua tahun lalu itu, pria Singapura ini justru menghadirkan sisi
erotik. Bali digambarkannya sebagai surga para gigolo.
“Apa bedanya gigolo dengan pelacur laki-laki?” temanku penasaran.
Saya tak tahu persis. Tetapi yang jelas, di mata
Amit Virmani, tak sedikit pemandu wisata di Bali merangkap menjadi
gigolo sehingga perlu disinisi. Rupanya dia merasa perlu
menjungkirbalikkan anggapan turis internasional bahwa Bali adalah Land
of Paradise.
Sesungguhnya, bila kita mau membuka halaman-halaman
kitab suci kita, Firdaus atau Paradise bukanlah tempat sembarangan. Ia
adalah suatu tempat teduh di mana pohon-pohon tumbuh hijau nan rindang,
dengan air yang melimpah, bahkan kolam susu tersedia di situ.
Kitab suci mengisahkan Adam terusir dari tempat
maha elok itu gara-gara terpukau oleh keelokan yang lain. Kemolekan
tubuh Eva, sebagaimana digambarkan dengan mempesona oleh Ayu Utami dalam
novel “Saman”, membangkitkan birahi Adam. Mereka kepergok, tertangkap
basah, lalu ditendang hingga terpelanting ke dunia yang fana ini.
Pada narasi yang diceritakan turun-temurun itu, Eva
tak kalah hina dari Evil. Kaum perempuan dianggap iblis durjana yang
mencelakakan kaum lelaki. Meminjam bahasa almarhum Benyamin Sueb,
“perempuan adalah biang kerok”.
Tapi Amit Virmani punya narasi sebaliknya. Di
Firdaus bernama Bali, iblis itu menyosok dalam diri lelaki. Mereka
adalah para gigolo yang menawarkan persetubuhan untuk memuaskan birahi
para perempuan pelancong—baik dengan imbalan dollar maupun tidak.
Andai Rabiah Adawiyah masih hidup, dan dia tinggal
di Pulau Dewata, mungkin dia akan menyempatkan diri berlalu lalang di
Pantai Kuta. Tangan kanannya menjinjing buku “Saman” dan tangan kirinya
menggamit DVD “Cowboys in Paradise”. Kepada orang-orang yang berpapasan
dengannya, Rabiah mungkin akan menyeru, “Pilih Surga Jahanam atau Neraka
Firdaus?”
Dan orang-orang melongo, sebagaimana saya bengong
setelah menulis artikel ini, dan Anda menggaruk-garuk jidat karena ada
sesuatu yang seakan merayap di kening Anda….