Tidak ada ta’abudi atau amali i’tiqadi yang dilakukan secara berlebih-lebihan (ghulu’) dan tasydid (sangat ketat dan keras), kecuali dilaksanakan oleh perorangan yang telah ditepis dan dilarang oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam. Seperti tepisan dan larangan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam terhadap beberapa orang yang bertanya tentang ibadah, ada yang terus-menerus shaum, ada yang tidak mau menikah dan lain-lain, kemudian dijawab oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam : “Bahwa aku shaum
dan buka; aku beribadah (shalat) dan tidur; aku menikahi perempuan; aku
memakan daging, maka barangsiapa yang tidak suka terhadap sunnnahku
maka bukan dari golonganku”. (HR. Bukhori dan Muslim).
Sepeninggal Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam
tetap ada orang-orang yang cenderung beribadah dengan berlebih-lebihan,
terutama ditambah kasus-kasus politik yang mengharu-biru dan lagi
kemenangan umat Islam yang membuka pintu dunia lebar-lebar, sehingga di
antara mereka ada yang berputus asa dan beruzlah untuk hanya beribadah
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Para shahabat pun
telah berusaha keras mencegah terjadinya praktek-praktek penyimpangan
kaum tabi’in. Dari sinilah mulai timbul penyimpangan selangkah demi
selangkah, walaupun secara keseluruhan mayoritas ibadah mereka masih
berdasarkan Sunnah dan semua masih bersifat individual.
Namun marhalah-marhalah
(tahapan-tahapan) selanjutnya berkembang sangat mengerikan..!!
penyimpangan demi penyimpangan berkembang pesat bahkan sampai kepada
derajat kekufuran (keluar dari Islam) dan tidak lagi bersifat perorangan
tetapi bersifat jama’ah.
Dari sinilah lahir istilah Tashawwuf dan
Sufiyah sekitar pertengahan abad ke-2 Hijriyah yang mulai dipenuhi
dengan keyakinan yang bercampur aduk, ada paganisme, Yahudi, Nashrani,
Hindu, Buda, Majusi dan firqah-firqah dhollah yang banyak sekali.
Di antara penyimpangan-penyimpangan pokok Sufiyah adalah:
1. Penyimpangan Sufiyah dalam Sumber
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
telah menjelaskan dan menetapkan bahwa sumber agama Islam dengan segala
seginya adalah wahyu Allah dalam bentuk al-Qur’an dan Hadits yang
shahih. Tidak ada yang lain. Sebagaimana terdapat dalam berbagai firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam :
“Sesungguhnya al-Qur’an ini memberikan
petunjuk kepada (jalan) yang amat lurus dan memberi khabar gembira
kepada orang-orang Mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka
ada pahala yang besar.” (QS. Al Isro` [17]: 9).
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَ سُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ المَهْدِيِّيْنَ مِنْ بَعْدِي عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ.
“Hendaklah kalian berpegang teguh pada
sunnahku dan sunnah para khalifah Rasyidin (yang terarahkan) dan
mendapat petunjuk setelahku. Gigitlah hal tersebut dengan gigi geraham”.
Tetapi kita dapati, oleh kaum sufi,
sumber agama Islam, yaitu al-Qur`an dan Sunnah telah ditambah-tambah dan
dicampur aduk dengan berbagai sumber-sumber lain, bahkan sumber-sumber
lain inilah yang lebih mendominasi al-Qur`an dan Sunnah itu sendiri.
Mimpi, kasyaf (penerawangan alam gaib) dan hadis-hadis palsu dan munkar
justru telah menjadi sumber utama bagi para penganut tasawwuf.
2. Penyimpangan Sufiyah dalam Tauhid
Sebagaimana yang telah kita pahami bersama, bahwa Tauhid adalah mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala
dalam Rububiyah-Nya, yaitu dalam perbuatan-perbuatan ketuhanan-Nya, dan
dengan mengesakan dan memuliakan nama-nama dan sifat-sifat-Nya serta
mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hak-hak-Nya sebagai Ilah (Tuhan) untuk seluruh alam.
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku saja.” [QS. adz-Dzariyat (51): 56].
Akan tetapi, ajaran yang telah diserukan oleh alanbiya dan Rasul ‘Alihimus Salaam
ini, tidak dipahami dan dijalankan oleh kaum sufi. Setelah menyimpang
dari pengambilan sumber, mereka justru menambah penyimpangan dengan
berpaling dari tauhid dan menggantinya dengan ajaran-ajaran syirik.
Keyakinan mereka tentang Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alihi wa Sallam banyak yang melampaui batas syari`at. Mereka berkeyakinan bahwa nabi Muhammad Shalallahu ‘Alihi wa Sallam
diciptakan sebelum adanya alam semesta, bahkan semua alam semesta
diciptakan dari cahayanya dan untuknya. Prinsip-prinsip kewalian yang
dipenuhi dengan sihir, bahkan ada yang sampai kepada prinsip wihdatul
wujud (manunggaling kawulo lan gusti) yang mengajarkan penyatuan Dzat
Allah dengan seluruh alam semesta yang dalam hal ini menyatu dengan sang
wali. Wali yang tidak pernah berbuat salah, kalaupun secara kasat mata
salah tapi hakikatnya sama sekali tidak salah, setelah mati mereka masih
hidup sehingga bisa mendengar keluhan dan rintihan pengikutnya, mereka
memiliki banyak karomah sampai ada yang bisa terbang, bisa ada di dua
tempat berbeda dalam waktu bersamaan, dipercaya atau bahkan mengklaim
memiliki kemampuan mengetahui sesuatu yang gaib dan keyakinan-keyakinan
syirik lainnya.
Kuburan-kuburan dan tempat-tempat
keramat penuh dengan legenda-legenda kesucian dan kekaromahan
penghuninya juga telah menjadi ajaran bid`ah yang sangat jelas. Sehingga
situasi kuburan dan tempat-tempat keramat dipenuhi oleh orang-orang
yang berziarah untuk mencari berkah atau meminta berbagai kebutuhan
dalam kehidupan yang ini merupakan kesyirikan yang jelas sekali.
3. Penyimpangan Sufiyah dalam Ittiba`.
Begitu juga
ajaran-ajaran ta`abbud dan suluk mereka telah banyak sekali dipenuhi
oleh berbagai tata aturan bid`ah. Shalawat bid`ah yang berbagai ragam
sesuai dengan tarekatnya, cara solat yang dipenuhi dengan sikap semedi
yang bebeda-beda, sikap dzikir yang memiliki tata aturan yang
bermacam-macam yang sama sekali tidak diajarkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alihi wa Sallam.
Begitu pula dalam tata olah bathin yang sama sekali tidak merujuk kepada manusia yang paling bertaqwa, yaitu Rasulullah Shalallahu ‘Alihi wa Sallam.
Amalan-amalan yang harus dipenuhi oleh para penganut tasawwuf untuk
membersihkan jiwa telah dipenuhi berbagai bid`ah yang justru menjadi
racun qolbu. Sampai-sampai untuk mengejar penyucian jiwa, mereka
diwajibkan meninggalkan menuntut ilmu-ilmu syar`i yang diajarkan dalam
al-Qur`an dan Sunnah. Lalu, ilmu yang mereka dapat dari hasil dzikir dan
riyadhah itulah yang akan melahirkan cahaya ilmu ladunni (diklaim
sebagai ilmu yang langsung datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui bisikan jiwa). (Admin-HASMI).