Firman Allah SWT:
وَإِذْقَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَئِكَةِ اِنِّى جَاعِلٌ فِىْ الاَرْضِ خَلِيْفَةً قَالُوْا أتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّى أَعْلَمُ مَا لاَتَعْلَمُوْنَ {البقرة: 30}.
وَإِذْقَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَئِكَةِ اِنِّى جَاعِلٌ فِىْ الاَرْضِ خَلِيْفَةً قَالُوْا أتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّى أَعْلَمُ مَا لاَتَعْلَمُوْنَ {البقرة: 30}.
“Dan ingatlah tatkala Tuhanmu
berkata kepada para Malaikat:’Sesungguhnya Aku akan menjadikan seorang khalifah
di muka bumi . Mereka bekata:’Mengapa Engkau hendak menjadikan (Khalifah) di
bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah,
padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?
Tuhan berfirman:”Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui ”
(QS.Al-Baqarah: 30).
(1) Pendapat para Mufassir Salaf (
Pakar Tafsir Klasik / Kuno )
Lebih selamat kalu ayat tersebut
kita anggap tidak ada yang lebih tahu maksudnya kecuali Allah SWT. Tetapi kita
tetap yakin bahwa Allah tidak memberikan informasinya kepada kita kecuali untuk
semata-mata kita ambil sebagai landasan dalam bersikap dan bertindak. Hanya
saja kita tidak tahu maksud sebenarnya yang tersirat dalam ayat 30 tersebut,
sekalipun dengan menggunakan bahasa yang sebenarnya tidak sulit untuk dipahami.
Berbeda dengan ayat sesudahnya QS Al
Baqarah : 31 yang dapat kita pahami bahwa manusia oleh Allah telah diberi
keistimewaan tertentu dengan dibekali berbagai macam ilmu, agar ia mampu
mengelolah dunia beserta dengan isinya yang memang dipersiapkan untuk
kepentingan manusia itu sendiri. Akan tetapi gambaran dalam ayat 30 tentang
perdebatan atau tanya jawab antara Allah dan para Malaikat sama sekali tidak
kita ketahui maksudnya. Kecuali kalu kita korelasikan dengan ayat 31, maka ada
beberapa kemungkinan tentang maksud ayat 30 itu sebagai berikut :
- manusia tidak dituntut untuk mengetahui semua rahasia dan hikmah yang tersirat dalam proses awal penciptaan dirinya, karena para malaikat sendiri juga tidak tahu.
- Ketika para malaikat bertanya-tanya, maka Allah berkenan memberikan petunjuk yang intinya menghendaki supaya mereka tunduk dan patuh tanpa perlu mengajukan pertanyaan, kemudian memberikan penjelasan bahwa manusia telah dibekali dengan berbagai cabang ilmu yang tidak mereka miliki. Lalu allah pamerkan kemampuan manusia itu kepada para malaikat sebagaimana disebutkan dalam ayat 31.
- Allah merestui hambahnya untuk bertanya tentang rahasia penciptaan manusia yang mereka tidak ketahui. Pertanyaan malaikat yang disebutkan dalam ayat 30 itu boleh jadi dalam bentuk ucapan jika mereka berpotensi untuk berbicara seperti kita, dan boleh jadi dalam bentuk sikap tunduk yang disertai dengan permohonan agar mereka diberi ilmu untuk dapat mengetahui sesuatu yang musykil (sulit dipahami).
- Ayat 30 itu bertujuan untuk menghibur Nabi Muhammad SAW yang lagi susah dalam menghadapi pelecehan kaum musyrik terhadap dakwahnya, bahkan beliau lebih susah lagi ketika menghadapi tantangan mereka untuk meminta bukti yang dapat mereka pegang. Maka Allah pun memberikan contoh kepada beliau tentang abagimana menanggapi tuntutan malaikat untuk meminta penjelasan tentang rahasia yang tidak mereka ketahui. Dalam hal ini nabi termasuk beliau sebaiknya selalu tetap bersabar dalam menghadapi kaum penentang dan tetap menyikapi mereka sebagaimana Allah menyikapi para malaikat, yaitu dengan memberikan argumentasi yang tidak terbantahkan.
Surat Al Baqarah : 30 tergolong Ayat
Mutasyabihat yakni ayat yang dalam upaya mengetahui maksudnya
diperlukan Ta'wil.(memindahkan ayat dari makna tekstual ke
dalam makna kontekstual agar bisa diterima oleh akal yang sehat). Jika
sebuah ayat tidak memerlukan ta'wil maka tergolong Ayat Muhkamat.
Ayat 30 dalam Surat Al Baqarah itu
disusun oleh Allah SWT dalam bahasa Allegoris (Majasi / kias)
tentang proses awal kejadian manusia beserta karakteristiknya, tujuanya adalah
supaya mudah dipahami. Dalam ayat tersebut dikisahkan bahwa para malaikat
mengajukan permohonan kepada Allah agar diberitahu tentang bagaimana sebenarnya
makhlik baru yang bernama manusia itu diciptakan sebagai Khalifah, yang
pengertiannya menurut mereka adalah makhluk yang bebas bertindak dan bebas
menentukan. mereka merasa cemas, jangan-jangan manusia itu bisa berbuat sesuatu
yang tidak membawa kemaslahatan dimuka bumi, sehingga tidak sesuai dengan
tujuan semula mereka diciptakanya. Melihat sikap para malaikat seperti itu,
maka Allah memberikan ilham (inspirasi) kepada mereka agar tunduk dan patuh
kepada Dzat Yang Maha Tahu. Apapun yang menyempit dalam pengetahuan
malaikat, jin, manusia justru sangat luas dalam pengetahuan Dzat Yang Maha
Tahu.
Barangkali jawaban dari Allah itu
belum meredakan kecemasan para malaikat. Karena itu, dalam ayat 31 dijelaskan
bahwa Nabi Adam sebagai manusia pertama oleh Allah telah diberi pengetahuan
tentang segala sesuatu lalu dipamerkan kepada para malaikat. Barulah mereka
tahu bahwa " tujuan pokok penciptaan manusia adalah menyiapkan penyebaran
ilmu tentang segala sesuatu yang tidak diketahui oleh malaikat, sehingga
manusia layak diberi mandat penuh sebagai khalifah dibumi. sedangkan
pertumpahan darah antar sesama manusia yang mereka cemaskan itu tidak akan
menghilangkan hikmah dan tujuan pokok penciptaan manusia beserta pemberian
mandat kekhalifahan kepadanya.
Menurut Ibnu Katsir, Imam Al-Qurthubi
dan ulama yang lain telah menjadikan ayat ini sebagai dalil wajibnya menegakkan
khilafah untuk menyelesaikan dan memutuskan pertentangan antara manusia,
menolong orang yang teraniaya, menegakkan hukum Islam, mencegah merajalelanya
kejahatan dan masalah-masalah lain yang tidak dapat terselesaikan kecuali
dengan adanya imam (pimpinan).
Selanjutnya Ibnu Katsir menukilkan
kaidah Ushul Fiqh yang berbunyi:
وَمَا لاَ يـَتـِمُّ اْلـوَاجـِبُ
إِلاَّ بِهِ فَهـُوَ وَاجـِبٌ.
“Sesuatu yang menyebabkan kewajiban
tidak dapat terlaksana dengan sempurn,maka dia menjadi wajib adanya”.
Ayat lain yang menjadi dalil
wajibnya menegakkan khilafah adalah:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
أَطِيْعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ {النساء:
59}
“Hai orang-orang yang beriman,
taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul dan Ulil Amri di antara
kamu, (QS.An-Nisa: 59).
Pada ayat ini Allah memerintahkan
agar orang yang beriman mentaati Ulil Amri. Menurut Al-Mawardi, Ulil Amri
adalah pemimpin yang memerintah umat Islam. Tentu saja Allah tidak
memerintahkan umat Islam untuk mentaati seseorang yang tidak berwujud sehingga
jelaslah bahwa mewujudkan kepemimpinan Islam adalah wajib. Ketika Allah
memerintahkan untuk mentaati Ulil Amri berarti juga memerintahkan untuk
mewujudkannya, demikian menurut Taqiyuddin An-Nabhani.
Kewajiban menegakkan khilafah juga
didasarkan kepada beberapa hadits Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam antara
lain:
لاَ يَحـِلُّ لـِثَلاَثـَةِ
يَكـُوْنـُوْنَ بـِفـَلاَةِ مـِنْ فـَلاَةِ اْلاَرْضِ إِلاَّ اَنْ يـُؤَمـِّرَ
عـَلـَيْهـِمْ اَحَـدَهُـمْ {رواه أحمد}.
“Tidak halal bagi tiga orang yang
berada di permukaan bumi kecuali mengangkat salah seorang diantara mereka
menjadi pimpinan” (HR.Ahmad).
Asy-Syaukani berkata:”hadits ini
merupakan dalil wajibnya menegakkan kepemimpinan di kalangan umat Islam. Dengan
adanya pimpinan umat Islam akan tehindar dari perselisihan sehingga terwujud
kasih sayang diantara mereka. Apabila kepemimpinan tidak ditegakkan maka
masing-masing akan bertindak menurut pendapatnya yang sesuai dengan
keinginannya sendiri. Di samping itu kepemimpinan akan meminimalisir
persengketaan dan mewujudkan persatuan”.
Sabda Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi
Wasallam:
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ
تَسُوسُهُمُ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ
لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا
تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ
فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ {رواه البخاريعن ابى هريرة}.
“Dahulu Bani Israil senantiasa
dipimpin oleh para Nabi, setiap mati seorang Nabi diganti oleh Nabi lainnya dan
sesudahku ini tidak ada lagi seorang Nabi dan akan terangkat beberapa khalifah
bahkan akan bertambah banyak. Sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, apa yang engkau
perintahkan kepada kami? Beliau bersabda: ”Tepatilah bai’atmu pada yang
pertama, maka untuk yang pertama dan berilah kepada mereka haknya, maka
sesungguh nya Allah akan menanyakan apa yang digembala kannya.” (HR.Al-Bukhari
dari Abu Hurairah).
Hadits ini di samping
menginformasikan kondisi Bani Israil sebelum Rasulullah Sallallahu ‘Alahi
Wasallam diutus sebagai Rasul dan Nabi terakhir yangs selalu dipimpin oleh para
Nabi, juga merupakan Nubuwwah Rasulullah Sallallahu ‘Alahi Wasallam tentang
peristiwa yang akan dialami umat Islam sepeninggal beliau.
Nubuwwah adalah pengetahuan yang
diberikan oleh Allah kepada Rasulullah Sallallahu ‘Alahi Wasallam tentang
peristiwa yang akan terjadi.
Pada hadits ini Rasulullah
Sallallahu ‘Alahi Wasallam menjelaskan bahwa sepeninggal beliau umat Islam akan
dipimpin oleh para khalifah, seperti Bani Israil dipimpin oleh para Nabi. Para
khalifah ini akan memimpin umat Islam seperti para Nabi memimpin Bani Israil
hanya saja mereka tidak menerima wahyu.
Oleh karena itu Abu Al-Hasan
Al-Mawardi (w.450 H) mendefinisikan Imaamah (kepemimpinan umat Islam) sebagai
موضوعة لخلافة النبوة فى حراسة الدين
وسياسة الدنيا.
“Kedudukan yang diadakan untuk
menggantikan kenabian dalam rangka memelihara agama dan mengatur dunia).
Kata السياسة yang merupakan masdar
dari kata ساس- يسوس , menurut An-Nawawi dalam “Syarh Muslim” mempunyai
pengertian :
القيام على الشيئ بما يصلحه.
“Mengatur sesuatu dengan cara yang baik”
Ketika menjelaskan hadits di atas
Ibnu Hajar Al-Asqolani berkata:”Di dalamnya mengandung petunjuk tentang
keharusan adanya pemimpin bagi masyarakat (Islam) yang akan mengatur urusan
mereka dan membawanya ke jalan yang baik serta melindungi orang-orang yang
teraniaya”.
Para ulama mengomentari kewajiban
menegakkan khilafah (kepemimpinan umat Islam) sebagai berikut
a. Asy Syaikh Muhammad Al-Khudlri Bik
Di dalam “Itmam Al-Wafa” mengatakan
bahwa umat Islam telah sepakat tentang wajibnya menegakkan khilafah
(kepemimpinan Islam) setelah Rasulullah Sallallhu ‘Alaihi Wasallam.
b. Al-Jurjani
“Mengangkat Imam adalah salah satu
dari sebesar-besar maksud dan sesempurna-sempurnanya kemaslahatah ummat”.
c. Al-Ghazali.
“Ketentraman dunia dan keamanan jiwa
dan harta tidak tercapai kecuali dengan adanya pimpinan yang ditaati oleh
karenanya orang mengatakan:’Agama dan pimpinan adalah dua saudara kembar’. Dan
karenanya pula orang mengatakan:’Agama adalah sendi dan pimpinan adalah
pengawal. Sesuatu yang tidak ada akan hancur, dan sesuatu yang tidak ada
pengawal akan tersia-sia.
d. Ibnu Khaldun
“Mengangkat Imam adalah wajib. Telah
diketahui wajibnya pada syara’ dan ijma’ sahabat dan tabi’in. mengingat bahwa
para sahabat segera membai’at Abu Bakar stelah Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi
Wasallam wafat dan menyerahkan urusan masyarakat kepadanya. Demikian pula pada
tiap masa sesudah itu tidak pernah masyarakat diabiarkan dalam keadaan tidak
berpemimpin. Semuanya merupakan ijma’ yang menunjukkan kewajiban adanya Imam.
e. Al-Mawardi
“Andaikata tidak ada Imam,
masyarakat tentu menjadi kacau balau (anarkhis) dan tidak ada yang
memperhatikan kepentingan mereka.
f. Yusuf Al-Qardhawi
“Disebutkan dalam “Mandzumah
Al-Yanharah”
وواجـب نـصـب امام عادل # بالـشـرع
فاعـلم لابحـكـم العـقـل.
“Kewajiban mengangkat Imam yang adil
# adalah ketentuan syara’ buakan ketetapan akal”.
Oleh karena itu muslimin yang tidak
memiliki Imam atau Khalifah, maka mereka semuanya menanggung dosa. Karena
mereka telah melalaikan satu kewajiban, yaitu fardlu kifayah yang menjadi
tanggung jawab mereka bersama untuk melaksanakannya.