Sejarah perpecahan
Pembicaraan seputar sejarah perpecahan umat sangat bermanfaat, namun
dalam tulisan ini tidak dapat menjelaskan perincian secara detail.
Diantara yng perlu diketahui adalah berikut:
Aqidah kelompok yang
menyimpang yang muncul pada umat ini awalnya hanya sekedar konsep
pemikiran dan keyakinan yang tersembunyi dan hanya tampak sangat samar,
yaitu
Aqidah Saba’iyah (Akidah
Syi’ah Rafidhoh dan Khawarij). Yang terkenal memunculkan bibit-bibit
perpecahan adalah seorang yang tidak jelas jatidirinya bernama Abdullah
bin Saba’ . ia menyebarkan keyakinan menyimpangnya diantara kaum
muslimin sehingga banyak kaum munafikin dan orang-orang yang baru masuk
islam meyakini kebenarannya hingga keluarlah sekte khawarij dan Syi’ah.
Kemudian muncullah iftiroq dalam bentuk kelompok tertentu yang
dimulai dengan kelompok Khawarij yang sebenarnya juga muncul dari
pemahaman Saba’iyah, sebagaimana Syi’ah juga demikian. Sabaiyah terbagi
menjadi dua kelompok besar yaitu Syi’ah Rafidhoh dan Khawarij. Demikian
walaupun ada perbedaan besar antara
syiah dan
khawarij.
Perbedaan antara Khawarij dan SYi’ah sebenarnya adalah upaya dan hasil
kerja musuh-musuh islam dalam rangka memperparah perpecahan umat. Dalam
pengertian Ibnu Saba’ dan kroni-kroninya menanamkan benih-benih sesuai
dengan kelompok dari ahli hawa tertentu dan menanamkan benih lainnya
pada kelompok lainnya dan menjadikan keduanya saling bermusuhan agar
cepat membuat perpecahan pada umat ini.
Yang perlu diketahui bahwa sejarah perpecahan umat tidak terjadi pada
zaman sahabat. Yang terjadi pada zaman mereka hanyalah perbedaan
pendapat yang kemudian berakhir dengan ijma’ atau tunduk dengan pendapat
mayoritas atau bersatu pada keputusan imam.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan: Ketahuilah bahwa umumnya
kebid’ahan yang berhubungan dengan akidah dan ibadah hanyalah terjadi
pada umat ini pada akhir-akhir masa khulafa’ Rasyidin sebagaimana
diberikan Rasulullah ketika bersabda:
مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِيْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كَثِيْراً،
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ
الْمَهْدِيِيْنَ مِنْ بَعْدِي”…
“
Siapa yang didup dari kalian setelahku maka akan melihat
perselisihan yang banyak, maka wajib bagi kalian berpegang dengan
sunnahku dan sunnah para khulafa’ rasyidin al-mahdiyin setelahku..”
Lalu beliau melanjutkan: “Ketika berlalu negara khulafa’ Rasyidin dan
menjadi kerajaan, maka muncullah kekurangan (kelemahan) pada para
penguasa (umara’), sehingga mesti juga muncul pada ahli ilmu dan agama.
Akhirnya pada akhir kekhilafahan ‘Ali menyempal dua kebidahan yaitu
Khawarij dan Rafidhoh yang berhubungan dengan imamah (kepemimpinan) dan
kekhilafahan serta yang berhubungan dengnnya berupa amalan dan
hukum-hukum syari’at. Mu’awiyah dulu adalah raja dan rahmat, ketika
beliau wafat dan datanglah pemerintahan Yazid terjadilah padanya fitnah
pembunuhan al-Husein di Iraq dan fitnag ahlu al-Harah di Madinah serta
mereka mengepung Makkah ketika dipimpin oleh Abdullah bin al_zubeir.
Kemudian Yazid meninggal dunia dan umat terpecah belah: Ibnu al-Zubeir
di al-Hijaaz, Banu al-Hakam di Syam, al-Mukhtaar bin Abu ‘Ubaid dan
selainnya menyerang Iraq dan itu terjadi di akhir masa sahabat dan masih
tersisi sedikit dari mereka seperti Ibnu ABas, Abdullah bin ‘Umar,
Jaabir bin ABdillah dan Abu Sa’id al-Khudri. Mereka dahulu membantah dan
memperingatkan kaum muslimin dari kebid’ahan al-Khawarij dan Rafidhoh.
Umumnya al-qadariyah ketika itu belum berbicara tentang amalan hamba
sebagaimana al-Murji’ah berbicara tentang hal tersebut, sehingga jadilah
perkataan mereka dalam ketaatan, kemaksiatan, mukmin, fasiq dan
sejenisnya dari masalah-masalah al-asma wa al-Ahkaam dan al-Wa’d wa
al-Wa’id. Mereka semua belum bicara tentang Rabb mereka dan tidak pula
pada sifat-sifat Allah kecuali di akhir-akhir masa Shighar al-Tabi’in
ketika masa akhir kekuasaan d.
Karena yang dilihat pada tiga generasi adalah dengan mayoritas
generasi (ahli al-Qurun) dan merekalah tengah-tengahnya. Mayoritas
sahabat hilang dengan hilangnya khulafa’ rasyidin yang empat, hingga
tidak tersisa ahli badr kecuali sedikit sekali. Mayoritas tabi’in bi
ihsaan hilang pada akhir ashaghir al-shohabat pada pemerintahan Abdullah
bin al-Zubeir dan Abdulmalik. Mayoritas tabi’it Tabi’in pada
akhir-akhir daulat Umawiyah dan awal-awal daulat ‘Abasiyah, jadilah
banyak orang-orang non Arab dalam wali amri dan keluar banyak urusan
dari kepemimpinan Arab. Lalu kitab-kitab non Arab berupa kitab-kitab
persia, India, dan Rumawi diterjemahkan dan muncullah apa yang
disabdakan Rasululloh
Shallallahu’alaihi Wasallam :
“ثم يفشوا الكذب حتى يشهد الرجل ولا يستشهد، ويحلف ولا يستحلف”
“
Lalu menyebarlah kedustaan sampai-sampai orang bersaksi walau
tidak dimintai persaksiannya, dan bersumpah walau tidak dimintai sumpah”
Muncullah kemudian tiga kebid’ahan: Ra’yu, Ilmu Kalam, Tasawwuf. Lalu
muncullah Jahmiyah yaitu penafian sifat Allah dan lawannya yaitu
al-Tamtsil”.
Hingga beliau berkata: “Mengenal prinsip dan ideologi sesuatu dan
mengenal agama dan prinsip-prinsipnya serta prinsip yang lahir darinya
termasuk ilmu yang paling bermanfaat, karena seorang yang tidak
mengetahui hakekat sesuatu yang dibutuhkannya dengan sempurna maka akan
tersisa dihatinya satu keraguan”[ Lihat
Majmu' Fatawa 10/354-368 dinukil dari Taqrib al-Tadmuriyah 10-12.]
Ibnu al-Qayyim menyatakan: “Kebid’ahan al-Qadar mendapati akhir masa
sahabat, lalu sahabat yang masih hidup seperti Abdullah bin Umar, Ibnu
Abas dan semisalnya mengingkarinya, kemudian muncul kebidahan irja’
setalah hilang masa sahabat, lalu kibaar tabi’in yang mendapati
kebidahan ini membantahnya. Kemudian kebidahan jahmiyah mendapati masa
tabi’in dan membesar serta keburukannya merata pada zaman para iamam
seperti imam Ahmad dan rekan-rekannya. Kemudian setelah itu muncul
bid’ah al-Hulul dan tampak jelas pada zaman al-Husein al-Halaaj. Setiap
kali syeithon menampakkan satu kebidahan dari kebidahan-kebidahan
tersebut dan selainnya , Allah bangkitkan dari hizbu dan tentaraNya
orang yang membantahnya dan memperingatkan kaum muslimin dari itu semua
dalam rangka nasehat Lillah, kitab suci, RasulNya dan kaum muslimin” [
Lihat
Tahdzib Sunan Abi Daud 7/61
hadits no. 4527]
Sedangkan Ibnu Hajar dalam menjelaskan hal ini berkata: “diantara yang terjadi adalah penulisan (kodefikasi)
hadits kemudian
tafsir
al-Qur’an kemudian penulisan masalah-masalah fikih yang dihasilkan dari
ra’yu murni kemudian penulisan yang berhubungan dengan amalan hati.
Adapun yang pertama diingkari oleh Umar, Abu Musa dan sejumlah
sahabat lainnya dan mayoritas membolehkannya. Yang kedua diingkari oleh
sejumlah Tabi’in seperti al-Sya’bi. Sedangkan yang ketiga diingkari oleh
imam Ahmad dan sejumlah kecil ulama dan demikian juga pengingkaran imam
Ahmad lebih keras pada yang berikutnya (keempat)
Diantara yang muncul adalah penulisan pemikiran dalam prinsip-prinsip
agama, lalu muncullah kelompok al-Mutsbitah dan al-Nufaah. Yang pertama
ektrim hingga menyerupakan Allah dengan makhlukNya dan yang kedua
ektrim sehingga menafikannya (ta’thil). Maka semakin keras pengingkaran
para salaf terhadap hal tersebut, seperti Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan
al-Syaafi’i. pernyataan mereka dalam mencela ilmu kalam cukup masyhur.
Sebabnya adalah mereka berbicara terhadap sesuatu yang Nabi dan para
sahabatnya diam. Dan telah shohih penukilan dari Maalik bahwa yang tidak
ada pada zaman Nabi, Abu Bakar dan Umar sedikitpun maka termasuk hawa
yaitu kebidahan Khawarij, Rafidhoh dan al-Qadariyah. Orang-orang setelah
tiga generasi terbaik memperlonggar pada umumnya permasalahn yang telah
diingkari seluruh tabi’in dan tabi’it tabi’in dan tidak merasa cukup
dengan hal itu hingga mereka mencampur adukkan masalah-masalah agama
dengan pemikiran Yunani dan menjadikan pemikiran filsafat sebagai dasar
menolak semua yang menyelisihinya dari atsar dengan ta’wil walaupun
dipaksakan. Kemudian mereka tidak cukup hanya demikian hingga meyakini
bahwa yang mereka pegangi tersebut adlah ilmu yang paling mulia dan
paling pantas dimiliki dan yang tidak menggunakan istilah mereka
dianggap awam dan jahil.
Orang yang bahagia adalah orang yang berpegang kepada ajaran salaf
dan menjauhi kebidahan kholaf . Kalau terpaksapun maka cukuplah
mengambil sesuai kebutuhan saja dan menjadikan yang pertama sebagai
tujuan asalnya” [ Lihat Fathul Bari 13/253]
Tokoh-tokoh besar pencetus kelompok sesat dalam Islam
- Abdullah bin Saba yang dikenal dengan Ibnu Sauda’ al-yahudi dibunuh tahun 34 H
- Ma’bad al-Juhani mati tahun 80 H membuat bid’ah Qadariyah tahun 63 H
- Ghailaan al-Dimasqi dibunuh tahun 105 H
- al-Ja’ad bin Dirham dibunuh tahun 124 H
- al-Jahm bin Shofwaan
- Washil bin ‘Atho’
- Amru bin Ubaid dll.
Demikian sebagian tokoh-tokoh ini dan masih banyak yang lainnya lagi yang tidak dapat ditulis dalam makalah ini.
Cara berlindung dari perpecahan
Ada beberapa sebab yang dapat melindungi kita dari perpecahan, ada
yang bersifat umum dan ada yang khusus. Yang bersifat umum adalah: takwa
dan berpegang tegug kepada al-Qur`an dan Sunnah.
Ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
firman Allah:
sedangkan Nabi menjelaskan dalam sabdanya:
عَنْ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ قَالَ وَعَظَنَا رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ
مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ فَقَالَ رَجُلٌ إِنَّ
هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا يَا رَسُولَ
اللَّهِ قَالَ أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ
وَإِنْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى اخْتِلَافًا
كَثِيرًا وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّهَا ضَلَالَةٌ
فَمَنْ أَدْرَكَ ذَلِكَ مِنْكُمْ فَعَلَيْهِ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ
الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا
بِالنَّوَاجِذِ
“Dari al-’Irbadh bin Saariyah beliau berkata, Rasululloh telah
menasehati kami pada satu hari dengan satu sehat yang menyentuh membuat
mata menangis dan hati bergetar. Lalu seorang berkata, Sungguh ini
adalah nasehat orang yang akan berpisah, lalu apa yang engkau wasiatkan
kepada kami wahai Rasululloh! Maka beliau bersabda: aku wasiatkan kepada
kalian untuk bertakwa kepada Allah dan mendengar dan taat (kepada
penguasa) walaupun budak habasyi, karena siapa dari kalian yang hidup
akan melihat perselisihan yang banyak dan hati-hatilah kalian dari
hal-hal yang baru dalam agama” HR al-Tirmidzi.
namun dari sebab umum ini muncullah sebab-sebab khusus, diantaranya:
- Mengenal ajaran Nabi dan berpegang teguh dengannya. Orang yang
berbuat demikian –Insya Allah- akan mendapatkan petunjuk dan beragama
diatas bashiroh. Dari sini ia akan menjauhi perpecahan atau perselisihan
dan terjerumus padanya secara otomatis.
- Berjalan diatas manhaj salaf as-Sholih yaitu para sahabat, tabi’in dan para imam besar ahlu sunnah wa al-Jama’ah
- Memahami agama dengan belajar kepada para ulama dengan metode yang benar sesusai manhaj para ulama dalam mengambil ilmu.
- Berkumpul bersama para ulama umat yang umat islam telah mengakui
kredibilitas mereka dalam agama, amalan dan amanah mereka. Allamdulillah
mereka selalu ada sampai hari kiamat nanti.
- Jangan sekali-kali merasa lebih pakar dan mulia dari para ulama
- Segera mengobati fenomena perpecahan yang ada dan kelompok sesat
yang muncul khususnya pada anak-anak muda, orang yang suka tergesa-gesa
dan yang tidak suka tafaqquh fiddin.
- Semangat untuk berpegang kepada jamaah dan persatuan serta perbaikan dalam makna yang luas dan prinsip-prinsipnya.
- Mulazamah ulama dan orang sholih
- Menjauhi sikap hizbiyah dan fabnatik buta terhadap golongan
- Memberikan nasehat kepada para pemimpin baik yang sholeh ataupun yang fajir.
- Melaksanakan amar amkruf nahi mungkar dengan dasar fikih dan bashiroh.
Penutup
Akhirnya kami berwasiat kepada para pemuda untuk senantiasa belajar
dan mengambil ilmu dari para ulama yang telah diakui kredibilitasnya
dalam memahami agama dan mengamalkannya, khususnya dalam
permasalahan-permasalahan umat dan kontemporer yang butuh ijtihad dan
kematangan ilmu. Juga hendaknya menjaga ukhuwah dengan menunaikan
hak-hak dan etika ukhuwah yang telah dijabarkan para ulama berdasarkan
al-Qur`an dan
sunnah.
Mudah-mudahan Allah memberikan taufiqNya kepada kita semua dan mengaruniai kita semua
ilmu yang manfaat dan amal sholeh.
—
Penulis:
Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.